Rabu, 26 November 2014

PELANGGARAN ETIKA PROFESI AKUNTANSI PADA PENYELEWENGAN DANA BANTUAN SOSIAL DAN HIBAH PROVINSI BANTEN

Di Indonesia banyak sekali kasus yang berhubungan dengan kode etik. Kasus-kasus seperti korupsi, penyuapan, penggelapan permasalahan laporan keuangan serta mafia pajak yang terjadi belakangan ini tentunya sangat bertentangan dengan kode etik. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kode etik dalam pemerintahan yang telah disebutkan melibatkan beberapa profesi yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik seperti pejabat administrasi Negara, pegawai perpajakan, akuntan publik dan lain sebagainya.
            Berdasarkan riset yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (IWC) dan Indonesia Budget Center (IBC), ditemukan bahwa anggaran untuk dana hibah dan bantuan social (bansos) rawan diselewengkan untuk kepentingan petahana (incumbent) dalam ajang pilkada 2013.
            Riset itu sendiri dilakukan di lima provinsi besar di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Dari riset tersebut, ditemukan modus korupsi politik dalam alokasi dana hibah untuk pemenangan pilkada, yaitu lembaga penerima fiktif, lembaga penerima alamatnya sama, aliran dana ke lembaga yang dipimpin keluarga atau kroni gubernur, dana hibah disunat, penerima bansos tidak jelas,” kata peneliti IBC, Roy Salam dalam jumpa pers dikantor ICW, Jakarta, Minggu (20/1).
            Menurutnya hal itu bisa dilihat dari membengkaknya pengalokasian anggaran dari pos dana hibah dan bansos yang turun setelah pilkada usai.
            Namun dalam kasus ini penulis memberikan contoh untuk daerah Banten yang terkait kasus penyelewengan dana bansos dan hibah. Modus yang digunakan dalam penggelapan dana bansos dan hibah biasanya berupa bantuan fiktif dan penyunatan anggaran. Kadang, bantuan juga diberikan kepada organisasi yang tidak aktif, tapi dibuat seolah-olah aktif. Aliansi Banten Menggugat (ABM) pernah mengadukan masalah ini ke KPK. Mereka menyoroti dana bansos dan hibah sebagian ada yang mengalir ke organisasi yang dipimpin Atut dan keluarganya.

Ø  KASUS
Jakarta – Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan sejumlah modus dalam penyelewengan dana bantuan sosial dan hibah di beberapa daerah. Para pejabat diminta jangan main-main, sebab ancaman hukumannya bisa saja berlapis.
Wakil kepala PPATK Agus Santoso mengatakan, modus yang digunakan dalam penggelapan dana bansos dan hibah biasanya berupa bantuan fiktif dan penyunatan anggaran. Kadang, bantuan juga diberikan kepada organisasi yang tidak aktif tapi dibuat seolah-olah aktif.
“Biasanya modusnya dengan menggunakan oknum-oknum binaan si pejabat. Orang-orang ini seolah-olah adalah pengurus dan mereka ini yang menyediakan formalitas antara lain nama anggota fiktif dan palsu.” Jelas Agus saat berbincang dengan detikcom, Jumat (1/11/2013).
Karena itu, Agus menghimbau agar para pejabat berhati-hati dalam menyalurkan dana bansos dan hibah. Bila terjerat korupsi dan penucian uang, maka hukumannya bisa akumulatif.
“Hati-hati yang bermain dengan korupsi dan TPPU!” tegasnya.
Modus yang disampaikan Agus ini cocok dengan temuan BPK dan sejumlah LSM pemerhati korupsi di Banten. Mereka menemukan sejumlah penyelewengan yang diduga mengarah pada kerugian Negara.
Dalam dokumen laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Banten tahun 2012, terungkap sejumlah masalah dalam penyaluran dana bansos dan hibah. Ada yang berhubungan dengan pelaporan yang tidak jelas dan kegiatan yang aktif.
Lalu, Aliansi Banten Menggugat (ABM) pernah mengadukan dana bansos dan hibah tahun anggaran 2009 sebesar Rp 14 miliar, 2011 yang digelontorkan Atut hingga Rp 340,4 miliar yang dibagikan kepada 221 lembaga/organisasi dan program bansos senilai Rp 51 miliar. Jumlah tersebut dua kali lipat dari anggaran sebelumnya pada tahun 2010 yang berjumlah Rp 239,270 miliar. Sebagian ada yang mengalir ke organisasi yang dipimpin Atut dan keluarganya.


Ø  Tanggapan
Dengan melihat rawannya penyalahgunaan dana hibah dan bantuan keuangan daerah yang dijadikan limbung uang baru bagi calon petahana untuk memenangkan pilkada dalam menjeang pilkada besar, seharusnya pencairan dana hibah dan bansos ditunda, karena dana ini dimungkinkan didistribusikan setelah pilkada di masing-masing daerah. Bahkan perlu ada moratorium dana hibah dan bansos agar tidak disalahgunakan. Moratorium penting, karena pengelolaan dana hibah dan bansos lemah dalam aspek akuntabilitas, bertentangan dengan prinsip anggaran berbasis kinerja dan sarat untuk kepentingan politik yaitu menjadi modal pemenangan dalam pilkada. Betapa pentingnya aturan pembatasan anggaran menjelang pilkada.
Begitu juga dibutuhkan peran aktif Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dalam memperhatikan penyalahgunaan dana bansos dan hibah dalam pilkada.
Untuk peraturan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) harus mengeluarkan Peraturan Mendagri (Permendagri) khusus untuk mengatur permasalahan tersebut. Sedangkan KPU harus berani mendesak Pemerintah Daerah (Pemda) untuk tidak menggelontorkan dana hibah dan bansos pada awal tahun ini.
Selain itu, ia juga mendorong peran aktif BPK dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam pengawasan dan penanganan kasus dana bansos dan hibah terkait pilkada atau pemilu.




SUMBER:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar